adsterra direct link

https://languishcharmingwidely.com/s1ptdft4t?key=01bf68e76297975183227ceb208075b4

Monday, November 30, 2009

VEGETASI, CARA ALAMI SELAMATKAN BUMI

ABSTRAK

Pemanasan Global akibat meningkatnya efek rumah kaca dewasa ini sudah sangat mengkhawatirkan. Pada tahun 1994, inventarisasi gas-gas rumah kaca di Indonesia, menunjukkan bahwa emisi total CO2 adalah 748,607 Gg (Giga gram), CH4 sebanyak 6,409 Gg, N2O sekitar 61 Gg, NOX sebanyak 928 Gg dan CO sebanyak 11,966 Gg. Sementara penyerapan CO2 pada tahun yang sama oleh hutan sebanyak 364,726 Gg, untuk tahun 1994 tingkat emisi CO2 di Indonesia sudah lebih tinggi dari tingkat penyerapannya. Indonesia sudah menjadi net emitter, sekitar 383,881 Gg pada tahun 1994 (Gusmailina). Hal ini diperparah dengan semakin sempitnya ruang terbuka hijau di daerah perkotaan di Indonesia.

Berdasarkan UU No. 26 tahun 2007 Tentang Penataan Ruang bahwa suatu wilayah kota diwajibkan memiliki ruang terbuka hijau minimal 30 % dari luas kota dan minimal 20 % adalah ruang terbuka hijau public. Seiring dengan peningkatan jumlah urbanisasi dan peningkatan jumlah penduduk menyebabkan semakin tingginya perubahan penggunaan lahan yang mengakibatkan berkurangnya jumlah tutupan lahan oleh vegetasi khususnya di daerah perkotaan, keadaan ini menyebabkan menurunnya kualitas lingkungan di daerah perkotaan (Dardak, 2006).

Dengan semangat menyelamatkan kehidupan di bumi dari efek pemanasan global, mari kita perluas ruang terbuka hijau(vegetasi) di daerah perkotaan di Indonesia melalui konsep 1 orang satu pohon sehingga 30 % dari luas kota adalah ruang terbuka hijau sesuai UU No. 26 tahun 2006 tersebut dapat terwujud.


I. Pendahuluan

Iklim perkotaan merupakan hasil dari interaksi banyak faktor alami dan antropogenik. Polusi udara, material permukaan perkotaan, emisi panas anthropogenik, bersama-sama dengan faktor alam menyebabkan perbedaan iklim antara kota dan area non perkotaan.

Iklim suatu kota dikendalikan oleh banyak faktor alam, baik pada skala makro (seperti. garis lintang) maupun pada skala meso (seperti topografi, badan air). Pada kota yang tumbuh dan berkembang, faktor-faktor baru dapat mengubah iklim lokal kota. Guna lahan, jumlah penduduk, aktivitas industri dan transportasi, serta ukuran dan struktur kota, adalah faktor-faktor yang terus berkembang dan mempengaruhi iklim perkotaan (Gambar 1).


Gambar 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi iklim perkotaan
(Sumber: Sebastian Wypych, 2003)

Dalam tahap awal perkembangan kota, sebagian besar lahan merupakan ruang terbuka hijau. Namun, adanya kebutuhan ruang untuk menampung penduduk dan aktivitasnya, ruang hijau tersebut cenderung mengalami konversi guna lahan menjadi kawasan terbangun. Sebagian besar permukaannya, terutama di pusat kota, tertutup oleh jalan, bangunan dan lain-lain dengan karakter yang sangat kompleks dan berbeda dengan karakter ruang terbuka hijau.

Setiap material permukaan mempunyai albedo berbeda yang mengubah fraksi dari radiasi matahari yang terpantul dan terserap di permukaan. Dalam beberapa penelitian ditemukan bahwa albedo kawasan perkotaan hanya sekitar 10-15% (albedo untuk salju adalah lebih besar dari 80%) yang berarti banyak energi matahari yang datang diserap oleh suatu kota [2]. Selain itu, bahan bangunan yang digunakan untuk konstruksi kota pada umumnya dicirikan oleh kapasitas dan keterhantaran panas tinggi. Kombinasi albedo yang rendah dan kapasitas panas yang tinggi ini adalah faktor antropogenik yang menciptakan karakter khusus pada kondisi atmosfer di atas kawasan perkotaan.

Dari sisi yang lain, geometri tiga dimensi, kota cenderung untuk menjebak radiasi dekat permukaan, dan dengan demikian menurunkan radiasi gelombang panjang yang mungkin dapat dilepaskan. Energi yang cukup besar yang disimpan kota sepanjang siang hari, dilepaskan pada malam hari dengan proses yang sangat lambat. Proses pendingingan di kawasan perkotaan ini jauh lebih lambat bila dibandingkan dengan pendinginan yang terjadi di kawasan non perkotaan yang memiliki jumlah vegetasi cukup banyak.

Polusi udara yang tinggi adalah faktor lain yang menjadi ciri kawasan perkotaan. Polusi udara perkotaan terdiri dari gas dan partikel/unsur/butir padat yang diemisi oleh industri, transportasi, sistem pemanas dan lain lain. Polusi udara yang teremisi, merubah komposisi atmosfir perkotaan, menurunkan transmissivitas dan meningkatkan daya serap terhadap radiasi matahari. Dengan kata lain, polusi udara menyerap cahaya matahari dan visibilitas udara menurun, sehingga lebih sedikit radiasi matahari yang menjangkau permukaan tanah.

Pada umumnya pusat kota lebih terpolusi dibanding bagian pinggir kota, tetapi hal tersebut tergantung pada sebaran lokasi industri dan intensitas penggunaan jalan-jalan. Pada siang hari, konsentrasi polusi udara tertinggi cenderung terjadi pada jam-jam puncak, yaitu pada kondisi dimana arus lalu lintas yang terjadi sangat tinggi. Dalam rentang waktu satu tahun, di negara-negara subtropis, konsentrasi polutan tertinggi cenderung terjadi pada waktu musim dingin ketika banyak polusi udara berbahaya dipancarkan karena konsumsi berbagai macam bahan bakar, untuk memanaskan bangunan, dan ketika atmosfir dalam keadaan paling stabil yang memperkecil kemungkinan udara untuk bercampur. Namun, pada musim panas, kabut photochemical tidak jarang pula terbentuk.

Dalam sebuah kota, evaporasi dapat berkurang secara signifikan karena permukaan artifisial tidak menyerap air sebagaimana halnya permukaan alami. Lebih dari itu, selama musim hujan, air mengalami run off dengan cepat ke dalam sistem drainase kota dan permukaan di perkotaan menjadi cepat kering. Karena air di atas permukaan tanah jumlahnya sedikit, panas yang ada tidak digunakan untuk evaporasi, melainkan digunakan untuk memanaskan atmosfer kota. Penting untuk disadari bahwa kondisi vegetasi di suatu daerah atau kawasan, sangat berpengaruh terhadap suhu udara.

Dampak faktor antropogenik pada iklim perkotaan tergantung pada ukuran kota, struktur spasial, jumlah penduduk, dan konsentrasi industri. Kota kecil dengan bangunan-bangunan yang relatif rendah dan menyebar di antara area hijau, tanpa pabrik-pabrik atau industri, akan cenderung memiliki pengaruh yang lebih kecil terhadap perubahan iklim perkotaan dibandingkan dengan kota-kota besar dengan bangunan-bangunan yang tinggi.
Selain itu, setting alam dimana kota berada, memiliki implikasi yang besar terhadap sistem interaksi faktor antropogenik dan iklim lokal. Contohnya, kota yang terletak di daerah bergunung sering berkabut dan aliran udara lemah. Hal tersebut menyebabkan kualitas udara buruk, ditambah lagi oleh inversi temperatur yang sering terjadi.

Kota yang berada di lembah, formasi inversi terjadi karena adanya shading di bagian dasar dari landform oleh karena adanya kemiringan, sehingga bagian yang lebih rendah sebagai area yang mendapat shade tetap lebih dingin dari area yang terletak di atasnya, dan dengan begitu udara yang berada di dekat permukaan tanah, membentuk inversi temperatur. Ditambah lagi, udara dingin (dan lebih berat) dari area miring sekitar kota turun secara gravitasi dan berkumpul di lembah atau basin, yang memperkuat inversi.

Iklim perkotaan dapat diperbaiki oleh perencanaan struktur perkotaan dengan cara mengurangi dampak negatif faktor-faktor alam dan antropogenik. Misalnya melalui penempatan daerah hijau (misalnya taman) dan badan air daerah lokasi-lokasi yang strategis. Pabrik-pabrik sebaiknya dibangun dengan memperhatikan arah angin, sehingga polusi udara terbawa oleh angin dan tidak mencemari ke area-area dimana dibutuhkan kualitas udara yang baik seperti area permukiman.


II. Mekanisme Keseimbangan Alam

Di alam terjadi proses hubungan timbal balik, saling ketergantungan antar komponen. Apa yang dibuang akan menjadi bahan baku bagi yang lain, sehingga tidak ada komponen yang hilang dengan percuma. Selain itu, di alam tidak ada yang gratis, oleh sebab itu semua dinamika komponen pendukungnya berpengaruh pada lingkungan, termasuk hasil perbuatan manusia. Oleh sebab itu jika kita ingin memperoleh lingkungan yang berkualitas baik, maka kita juga harus memperlakukan lingkungan dengan baik. Salah satu cara adalah dengan dengan peduli terhadap keberadaan pohon. Kepada masyarakat perlu disosialisasikan manfaat keberadaan pohon bagi kelangsungan hidup manusia, antara lain:

1. Menahan laju air sehingga akan lebih banyak air yang terserap ke dalam tanah. Menurut penelitian, tegakan hutan yang berdaun jarum mampu membuat 60% air hujan terserap tanah, bahkan tegakan hutan yang berdaun lebar mampu membuat 80% air hujan terserap tanah. Dengan kemampuan ini akan meningkatkan cadangan air tanah. Saat ini, kawasan Punclut yang merupakan kawasan resapan air bagi warga Bandung dan sekitarnya hanya mampu meresapkan air 5 liter/dt. Jumlah ini terus mengecil seiring dengan meluasnya permukaan tanah yang tertutup. Perlu diketahui, air tanah yang sekarang ini kita nikmati sesungguhnya merupakan hasil resapan air hujan sekira 6.000 tahun lalu ketika areal serapan air masih sangat luas. Selain itu, akar pohon akan menahan tanah yang terkikis agar tidak masuk ke aliran sungai/saluran air yang akan menimbulkan endapan. Kemampuan inilah yang dapat mencegah terjadinya kekurangan air di musim kemarau dan banjir di musim hujan.

2. Menjaga kesuburan tanah. Saat hujan, butir-butir air hujan tidak langsung menimpa permukaan tanah. Setelah ditahan oleh tajuk pohon selanjutnya ditahan oleh serasah yang berupa daun dan ranting kering. Dengan demikian tidak mengelupaskan dan memercikkan butir-butir lapisan tanah bagian atas, yang umumnya subur/tanah humus.

3. Memasok kebutuhan oksigen (O2). Melalui proses fotosintesis, tajuk pohon mengurangi kadar CO2 (hasil aktivitas manusia, pabrik, kendaraan bermotor) di udara dan menghasilkan O2 yang sangat diperlukan manusia. Menurut Mudjono (1977), setiap 1 hektare lahan hijau dapat mengubah 3,7 ton CO2 menjadi 2 ton O2. Proses ini sangat penting sebab gas CO2 sangat beracun dan bila dalam jumlah yang berlebihan akan menimbulkan efek rumah kaca.

4. Menyaring kotoran (debu jalanan, abu pabrik/rumah tangga). Dengan struktur tajuk dan kerimbunan dedaunan, debu, dan abu dapat menempel pada daun, yang di saat hujan akan tercuci oleh air hujan. Dari berbagai pengamatan yang dirangkum oleh Bianpoen (1977) diketahui bahwa kumpulan pohon yang terdapat di sebidang tanah seluas 300x400 m2 mampu menurunkan konsentrasi debu di udara dari 7.000 partikel/liter menjadi 4.000 partikel/liter.
Selain itu diketahui pula bahwa antara ujung-ujung suatu jalur hijau yang memiliki panjang 5 km dengan lebar 2 km, terjadi penurunan konsentrasi debu dengan perbandingan 50:3. Dengan tajuknya yang lebat, barisan pohon mampu mengurangi kecepatan angin. Menurut Kitredge (1948), jalur hijau (shelterbelts) mampu mereduksi 20% dari kecepatan angin di tempat terbuka. Ini berarti dapat mengurangi kadar debu yang beterbangan. Yang menurut hasil pengukuran kadar debu oleh Badan Meteorologi dan Geofisika (R.P. Sudarno, 1984), sejak 1978 konsentrasi debu di semua kota mengalami kenaikan.

5. Mereduksi beberapa zat pencemar udara. Selain CO2, peristiwa pembakaran (terutama yang berbahan bakar minyak) juga menghasilkan limbah asap yang mengandung sulfur dioksida (SO2). Di udara, SO2 ini akan bereaksi dengan uap air membentuk asam sulfat (H2SO4). Bila bercampur air hujan akan menghasilkan hujan asam yang membahayakan kesehatan kulit serta menimbulkan korosi. Dalam hal ini tajuk pohon berfungsi menahan air hujan tersebut, yang kemudian pada beberapa pohon yang mengeluarkan air gutasi, kandungan asamnya dinetralkan.

6. Meningkatkan kenyamanan lingkungan. Pepohonan mampu membentuk mikroklimat yang sejuk, mengurangi kebisingan, mencegah silaunya sinar matahari, mengurangi bau busuk serta menyekat pemandangan yang kurang layak. Kegiatan metabolisme evapotrenspirasi tumbuhan akan menyebabkan suhu di sekitar tajuk menjadi lebih rendah dan kadar kelembapannya meningkat (diadaptasi dari Zoer'aini, 1988; (Adiningsih, 2002).
Begitu banyak manfaat pohon bagi kelangsungan dan kualitas hidup manusia, apakah diabaikan begitu saja? Yang harus dilakukan sekarang ini adalah bersama berupaya "menghutankan kembali hutan" serta menghijaukan kembali kota. Masalah penghijauan bukan menjadi urusan pemerintah semata. Masyarakat pun harus terlibat aktif. Jangan hanya bisa mengeluh bila kotanya menjadi gersang dan panas. Di sisi lain pemerintah harus tegas dalam memberikan sanksi kepada perusak lingkungan. Pemerintah harus berani menegur para pengembang yang tidak menyediakan sarana ruang terbuka hijau. Bukankah telah ada peraturan mengenai hal ini? Di beberapa kota dan kabupaten, ada ketentuan bahwa daerah pemukiman harus menyediakan sedikitnya 20% dari lahannya untuk menjadi ruang terbuka hijau. Namun apakah peraturan tersebut telah efektif berjalan?. Untuk itu agar peraturan tersebut dapat terlaksana, pemerintah harus menjadikan dirinya sebagai lembaga yang disegani. Pemerintah jangan memanfaatkan kekuasaannya untuk mengeruk keuntungan pribadi dengan "menjual" lahan ruang terbuka hijau kepada investor. Selain itu, pemerintah harus berdiri di depan (menjadi teladan) dalam penjagaan kelestarian hutan serta pengadaan ruang terbuka hijau. Jangan hanya sampai pada konsep dan slogan saja.


III. JALUR HIJAU / RTH

Yang termasuk ruang terbuka hijau itu di antaranya taman kota, hutan kota, jalur hijau, halaman rumah, perkantoran, dan pusat bisnis, serta kebun binatang. Ia berfungsi sebagai filter udara dan daerah tangkapan air. Daun-daun pepohonannya bertugas menyerap polutan-polutan di sekitarnya. Sebaliknya, dedaunan itu akan melepaskan oksigen (O2) yang membuat udara di sekitarnya menjadi segar. Ketika hujan turun, tanah dan akar-akar pepohonan itu akan "mengikat" air yang jatuh sehingga menjadi cadangan air.

Kawasan hijau itu juga melepaskan anion (ion negatif) lebih besar ketimbang kawasan tanpa pepohonan. Data menunjukkan, konsentrasi anion terbesar bisa ditemukan di hutan rimba atau air terjun, yakni sebesar 50.000 ion per cc (sentimeter kubik) udara. Berikutnya di pegunungan dan pantai 5.000 ion per cc, pinggiran kota dan tempat terbuka 700 – 1.500 ion per cc, taman kota 400 – 600 ion per cc, jalur hijau di dalam kota 100 – 200 ion per cc, perumahan dalam kota 40 – 50 ion per cc, dan yang terkecil di dalam ruang ber-AC yakni 0 – 25 ion per cc (Yudana, 2001)

Anion memberi pengaruh baik bagi kesehatan sampai ada yang menyebutnya sebagai "vitamin udara". Manfaat lain, ion negatif itu dapat membunuh dan menghentikan aktivitas bakteri; mengurangi penyakit pernapasan lantaran berfungsi mengaktifkan gerakan bulu getar hidung, melebarkan saluran napas, menjaga peredaran darah normal, dan mengurangi kecepatan pernapasan; menaikkan kemampuan menyerap dan memanfaatkan oksigen, mengaktifkan pembaharuan sel dan meningkatkan fungsi pertahanan tubuh; serta menghilangkan kelelahan. Yang terakhir ini karena anion akan menguraikan asam laktat penyebab rasa lelah menjadi air dan ion laktat.
Untuk kebutuhan menjaga kesehatan tubuh, diperlukan 1.000 – 2.000 ion per cc. Artinya, kebutuhan ini akan terpenuhi bila kita berada di pinggiran kota. Sebaliknya, secara fisiologis kita akan kekurangan anion bila konsentrasinya cuma di bawah 50 ion per cc udara.

Soeriatmadja dalam Seminar Penghijauan Kota yang diselenggarakan oleh Paguyuban Pelestarian Budaya Bandung dan Pikiran Rakyat menyatakan tahun 1961 kota Bandung yang luasnya 8.098 Ha terdiri dari taman alam dan buatan seluas 3.431 Ha. Namun setelah 20 tahun kemudian hanya tinggal 716 Ha saja (Suara Pembaruan, 29-1-1991). Perhitungan yang dilakukan berdasarkan pendekatan kebutuhan oksigen berdasarkan Rumus Gerakis pada tahun 1988 di Kotamadya Bandung mestinya sudah harus tersedia penghijauan sebesar 5.093,61 Ha (Ryanto, 1989 dalam http://www2.bonet.co.id/dephut/HKota8.htm).


IV. Hutan Kota

Persoalan lingkungan di perkotaan akibat disharmoni hubungan manusia dengan alam lingkungannya terwujud dalam gejala makin meningkatnya suhu perkotaan, intrusi air laut, pemerosotan tanah (subsidence), banjir, kebisingan, polusi udara oleh partikel-partikel padat, dan stress. Berdasarkan laporan dari Organisasi Kesehatan Dunia, Jakarta menduduki kualitas udara terburuk ketiga di dunia, kedua di Asia dan peringkat pertama di Indonesia (WHO, 2006). Kementerian Lingkungan Hidup (2007) mencatat selain Jakarta, kota Surabaya, Semarang, Bandung, Denpasar, dan Medan menunjukkan kualitas udara yang memburuk dan membahayakan bagi kesehatan warga (stres, asma, infeksi saluran pernapasan akut, paru-paru). Lingkungan perkotaan berkembang secara ekonomi, namun tidak secara ekologis. Padahal keseimbangan lingkungan perkotaan secara ekologi sama pentingnya dengan perkembangan nilai ekonomi kawasan perkotaan.

Dalam upaya mengatasi masalah dan memperkecil peluang bertambah parahnya akibat yang timbul, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah RI No. 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota dan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.03 /MENHUT-V/2004 tentang Pedoman dan Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL/Gerhan yang mendorong pembentukan hutan kota (urban forest) dalam upaya penghijauan wilayah perkotaan mulai tahun 2004 yang lalu.

Berbagai studi menyimpulkan bahwa banyak manfaat yang bisa diambil dari hutan kota. Pertama, hutan kota mampu menyerap karbon dioksida dan menghasilkan oksigen. Cahaya matahari akan dimanfaatkan oleh semua tumbuhan, baik hutan kota, hutan alami, tanaman pertanian dan lainnya dalam proses fotosintesis yang berfungsi untuk mengubah gas karbon dioksida dengan air menjadi karbohidrat (C6H12O6) dan oksigen (O2). Proses kimia pembentukan karbohidrat dan oksigen ini adalah :
6CO2 + 6H2O +Energi dan klorofil menjadi C6H12O6 + 6O2
Meningkatnya penggunaan mesin dengan bahan bakar minyak di perkotaan menyebabkan terjadinya peningkatan konsentrasi CO2 di udara. Apabila akumulasi CO2 berada di atas ambang batas, yaitu lebih dari 290 ppm, CO2 menyebabkan suhu udara naik karena terjadi efek rumah kaca (green house effect). Wenda (1991) dalam laporan penelitiannya di kota Bogor menyatakan, pada areal bervegetasi suhu udara berkisar antara 25,50º – 31º C, sedang pada areal yang kurang bervegetasi dan didominasi tembok dan jalan aspal suhu berkisar antara 27,70º – 33,10º C (http://www.dephut.go.id).

Vegetasi yang ditanam pada hutan kota mampu menyerap karbon dioksida (CO2) yang ada di perkotaan. Bahkan vegetasi merupakan satu-satunya makhluk yang mampu mengubah CO2 menjadi oksigen (O2), melalui proses fotosintesa. Proses fotosintesis sangat bermanfaat bagi manusia. Pada proses fotosintesis dapat menyerap gas yang bila konsentrasinya meningkat akan beracun bagi manusia dan hewan serta akan mengakibatkan efek rumah kaca, dilain fihak gas oksigen yang dihasilkannya sangat diperlukan oleh manusia dan hewan. Pada lahan seluas 1.600 m2 yang terdapat 16 pohon berdiameter tajuk 10 m, vegetasi mampu menyuplai O2 sebesar 14.000 liter per orang. Setiap jam, satu hektar daun-daun hijau dapat menyerap 8 kg CO2. Jumlah tersebut setara dengan CO2 yang dihembuskan oleh napas manusia sekitar 200 orang dalam waktu yang sama (http://www.kompas.com/kompas-cetak/0406/7/Properti/1063304.htm).

Fungsi hutan kota yang kedua berhubungan dengan upaya pelestarian air tanah. Sistem perakaran tanaman dan serasah yang berubah menjadi humus pada hutan kota akan memperbesar jumlah pori tanah, karena humus bersifat lebih higroskopis dengan kemampuan menyerap air yang besar (Bernatzky dalam http://www.dephut.go.id), sehingga kadar air tanah hutan kota meningkat. Selain itu, hutan kota berfungsi sebagai daerah resapan yang memberikan kesempatan air hujan meresap ke dalam tanah (infiltrasi) dan tidak mengalir sebagai air limpasan (surface run off) sehingga membantu kota mereduksi potensi banjir.

Eksploitasi air tanah secara intensif, terutama oleh industri, menyebabkan permukaan air tanah turun dan permukaan di sekelilingnya menjadi rendah dengan bentuk kerucut yang disebut “kerucut depresi” (cone of depression). Jika terjadi kerucut depresi, maka ruangan di antara butiran tanah dalam keadaan kosong. Akibatnya terjadilah pemerosotan tanah (subsidence) yang merusakkan bangunan-bangunan di atasnya, seperti yang dialami kota Semarang dengan terjadinya penurunan permukaan tanah sekitar 10 cm/th akibat pengeboran air bawah tanah secara liar dan pembabatan hutan mangrove (Suara Merdeka, 11 Juni 2002: 17).

Selain pemerosotan tanah, di kota-kota pantai kerucut depresi menyebabkan terjadinya intrusi air laut yang mengisi ruang di antara butiran tanah yang kosong (Suharyadi, 1984: 173). Mudah diduga, air tanah daratan berubah menjadi asin dan tidak layak konsumsi serta merusakkan bangunan-bangunan di kota-kota pantai. Dengan kemampuan menyerap dan menahan air, hutan kota sangat penting artinya untuk menekan terjadinya kerucut depresi sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya subsiden dan intrusi air laut ke daratan.

Fungsi ketiga hutan kota adalah kemampuannya mereduksi potensi pencemaran udara. Partikel padat yang tersuspensi dalam lapisan biosfer dapat dibersihkan oleh tajuk pohon melalui proses jerapan dan serapan. Partikel yang melayang-layang di permukaan Bumi sebagian akan menempel (terjerap) pada permukaan daun, terutama daun yang mempunyai permukaan kasar atau berbulu, kulit pohon, cabang, dan ranting, serta sebagian terserap masuk ke dalam stomata.

Penelitian Goldsmith dan Hexter (1967) menunjukkan bahwa kendaraan bermotor merupakan sumber utama timbal (Pb) yang mencemari perkotaan, dengan besaran persentase menurut Krisnayya dan Bedi (1986) sekitar 60-70 % (http://www.dephut.go.id). Selain timbal, pencemar udara yang dijumpai di perkotaan adalah sulfur oksida (SO2), ozon (O3), nitrogen dioksida (NO2), dan karbon monoksida (CO). Pencemaran udara di perkotaan juga terjadi oleh suara bising dan bau akibat aktivitas manusia. Vegetasi, terutama yang mempunyai tajuk tebal dan daun yang rindang, mampu meredam suara dengan cara mengabsorpsi gelombang suara melalui daun, cabang, dan ranting. Menurut Grey dan Deneke (1978) dedaunan tanaman dapat menyerap kebisingan sampai 95 % (http://www.dephut.go.id).

Benda-benda artifisial buatan manusia meskipun mempunyai bentuk, warna, dan tekstur yang indah tetap mempunyai kelemahan, yaitu tidak alami, sehingga tidak segar di mata. Perpaduan vegetasi dengan berbagai ukuran ketinggian, bentuk, dan warna dapat diterapkan pada hutan kota yang dibangun. Pada dasarnya, manusia menyukai hal-hal yang alamiah, sehingga dengan memasukkan unsur vegetasi dalam sistem tersebut keindahan yang muncul di perkotaan semakin sempurna. Itulah fungsi keempat hutan kota yang tak tergantikan.

Fungsi penting hutan kota yang kelima adalah sebagai tempat pelestarian plasma nutfah yang penting untuk pembangunan di masa depan, terutama di bidang pangan, sandang, papan, obat-obatan, dan industri. Kawasan hutan kota dapat dipandang sebagai areal pelestarian di luar kawasan konservasi, karena pada kawasan ini dapat dilestarikan flora dan fauna secara exsitu.

Menyediakan ruang rekreatif merupakan fungsi keenam hutan kota. Pearce dalam Magical Child (Wilkinson, 1980) mengungkapkan, ruang bermain merupakan tempat anak-anak tumbuh dan mengembangkan intelegensinya, melakukan kontak dan proses dengan lingkungan, serta yang tak kalah penting adalah membantu sistem sensor dan proses otak secara keseluruhan. Dari tempat bermain itu pula, anak dapat belajar sportivitas, disiplin dan mengembangkan kepribadiannya.


V. PENUTUP

Marilah kita semua berlomba-lomba membangun "pabrik oksigen", "pabrik air", serta "instalasi penyaring debu". Melalui konsep vegetasi, di rumah, kita upayakan agar masing-masing anggota keluarga memiliki sedikitnya satu pohon. Demikian juga di kantor/pabrik diupayakan masing-masing karyawan memiliki satu pohon dan pemerintah berkewajiban untuk menghijaukan ruang publik, baik berupa taman, lapangan rumput, jalur hijau, bahkan hutan kota.

Melalui upaya ini, kita yakin pemanasan global karena meningkatnya efek rumah kaca akibat emisi gas buang ke atmosfer terutama gas karbon dioksida sedikit banyak dapat kita kurangi sehingga kenyamanan tinggal di bumi akan kembali terwujud, dan tentunya yang lebih penting dapat kita wariskan kepada anak cucu kita kelak di kemudianhari.

Setelah kerap mengalami kekurangan air, haruskah kita menunggu hingga tidak bisa bernapas karena kehabisan oksigen, baru percaya akan pentingnya pohon? Seharusnya tidak bukan ?


DAFTAR PUSTAKA

Budi imansyah S. A.M.K.L, 2007, Sehatkan Udara Bandung Dengan Tanaman Penyerap Polutan. http://anekaplanta.wordpress.com. Diakses tanggal 5 September 2009

Indah Susanti, Teguh Harjana, 2006, Aspek Iklim Dalam Perencanaan Tata Ruang. http ://io.ppi-jepang.org. Diakses tanggal 5 September 2009

Gusmailina, 2009, Vegetasi Pohon : Langkah Peningkatan Potensial Penyimpanan Karbon. http://iklim. Dirgantara-lapan.or.id. Diakses tanggal 5 September 2009

A.Rahman As-syukur, I.W.Sandi Adnyana, Analisis Indeks Vegetasi Menggunakan Citra Alos/AVnir-2 dan Sistem Informasi Geografi (SIG) Untuk Evaluasi Tata Ruang Kota Denpasar, Jurnal Bumi Lestari, Volume 9 No. 1, Februari 2009. http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/01. Diakses tanggal 7 September 2009

Zulkarnaen Syri Lokesywara, 2008, School Forest : Menumbuhkan Hutan di Belantara Kota. http://www. Kabarindonesia.com. Diakses tanggal 5 September 2009

Majalah Gatra, 28 januari 2008, Tak Ada Diskon Permanen. http://digilib-ampl.net/detail/detail.php. Diakses tanggal 7 September 2009

Muchammad Chusnan Aprianto, Penghijauan Sebagai Salah Satu Cara Mengatasi Permasalahan Kota. http://chusnan.web.ugm.ac.id/indek.php. Diakses tanggal 7 September 2009

Rochadi Tawaf. Pusat Penelitian Teknologi Tepat Guna Lembaga Penelitian Unpad. SumberKompas). Serahkan Pengelolaan Sampah Kepada Masyarakat. http://lingkungan harmonis.blogspot.com Diakses tanggal 7 September 2009.

Institut Pertanian Bogor, Ilmu dan Teknologi Kelautan, 2007, Keanekaragaman Hayati Kelautan. http://web.ipb.ac.id. Diakses tanggal 7 September 2009

No comments:

Post a Comment